Halaman

Latar Belakang




Pada suatu saat Sang Buddha berdiam di Vihara yang terletak di Gunung Grdhrakuta (puncak burung nasar), dekat Kota Rajagrha di Negeri Magadaha.


Beliau bersama-sama dengan 1.250 Bhiksu Agung dan 32.000 Bodhisattva Mahasattva yang dipimpin oleh ketuanya yaitu Pangeran Dharma Manjusri.


Pada saat itu, di Kota Rajagrha terdapat seorang pangeran bernama Ajatasatruyang telah dihasut oleh kawannya yang jahat, Devadatta dan juga kawan lainnya untuk mengurung ayahnya, Raja Bimbisara di dalam suatu gedung yang tertutup dengan 7 lapis tembok permanen, dan dijaga sangat ketat dan tidak mengijinkan para Menteri dan orang lain datang menengok Kepala Negara itu, bahkan ia melarang memberi makan kepada ayahnya yang malang itu.


Peristiwa itu sangat menyedihkan para keluarga Raja Bimbisara di dalam istana, terutama Ratu Vaidehi, ia sangat rindu kepada sang Raja. Pada suatu hari ia mandi supaya badannya bersih, kemudian seluruh badannya diolesi kejuyang dicampur madu dan tepung terigu yang telah matang, lalu ia mengisi setiap kalung keruya yang terpasang di lehernya dengan sari anggur, untuk diberikan kepada suaminya yang sedang ditahan oleh anak durhaka itu secara rahasia.


Setelah Raja Bimbisara menghabiskan makanan tepung dan sari anggur itu, lalu Beliau minta secangkir air untuk berkumur membersihkan mulutnya. Setelah itu Beliau bersikap anjali dan menghadap ke arah Gunung Grdhrakuta menyembah Sang Buddha, seraya berkata :


“O, Lokanatha Yang Termulia. Murid-Mu yang bernama Mahamaudgalyayana adalah famili saya, sudilah mengutus dia untuk datang ke istana dengan perasaan iba mengajariku Atthasila (Delapan Sila) !”


Pada saat itu, Mahamaudgalyayana bagaikan seekor elang melintasi angkasa menuju ke tempat Raja itu dan mengajarkan delapan sila kepada Raja Bimbisara. Demikianlah hal itu berulang setiap hari.


Di samping itu Sang Buddha juga mengutus Arya Purnamaitrayaniputra untuk mengajarkan Dharma kepada Raja itu setiap hari, selama tiga minggu lamanya.


Karena Raja Bimbisara mendapat makanan dan minuman dari Ratu Vaidehi dan dapat pula mendengar Dharma dari Arya Purna, maka kesehatannya sangat baik dan sangat gembira.


Pada saat itu Pangeran Ajatasatru menanyakan para penjaga : “Sejak dikurung di kamar tertutup, sampai sekarang ayahku masih hidup atau tidak ?”


“O, Tuanku yang terhormat. Ayahmu masih hidup.” Jawab para penjaga.


“Dan, setiap hari Ratu Vaidehi datang ke dalam kamar menghadap Raja, dan seluruh badannya ditempeli makanan, setiap kalung keruya diisi sari anggur untuk Raja, juga Sramana Maudgalyayana beserta Purna datang dari angkasa, mengajar Dharma kepada Raja Bimbisara di dalam kamar dan sungguh sulit menghalanginya.”


Waktu Pangeran Ajatasatru mendengar laporan dari penjaga, dia marah sekali:


“Penyamun jahat ibuku ini, rupanya ia bergaul dengan penyamun. Sramana jahat, rupanya dengan guna-guna berusaha untuk mempertahankan Raja lalim itu, tidak mati hingga sekian lamanya.”


Lalu pangeran Ajatasatru menghunus pedangnya hendak membunuh Ibunya. Kebetulan pada saat itu datang seorang menteri bernama Candraprabhasa yang bijak dan jujur, Beliau bersama dengan rekannya, Jivaka (adiknya Ajatasatru) menghormat kepada Pangeran Ajatasatru sambil berkata:


“O, Tuanku yang terhormat. Hamba pernah membaca sutra-sutra dari “Sastra Veda” dan disebut sebagai berikut:


Sejak masa permulaan kalpa hingga masa berikutnya, terdapat beberapa Raja yang kejam, yang merebut kekuasaan Negara dengan membunuh ayahnya, dan telah 18 ribu Raja yang dibunuh…,  Tetapi, hamba belum mendengar Raja lalim membunuh Ibunya.”


Sekarang Tuanku hendak membunuh sang Raja, maka kelakuan yang tidak terpuji ini sungguh menodai Bangsa Ksatriya dan kabar ini sungguh mengharukan hamba. Ya, kelakuan ini sungguh menunjukkan Tuan adalah seorang candala. Dan hamba tidak patut bertugas di istana ini.


Note: Candala adalah kelompok masyarakat di luar kasta, mereka biasanya tidak bermoral dan berprofesi sebagai pelacur, penjagal, misalnya.


Setelah kedua Menteri itu selesai berkata, mereka terus memegang pedang Pangeran Ajatasatru dan menekannya ke bawah dengan telapaknya, kemudian mereka mundur beberapa langkah lalu pergi. Melihat keadaan demikian serius, betapa kaget Pangeran Ajatasatru, lalu ia berkata dengan sangat haru kepada adiknya, Jivaka:


“Apakah adikku tidak mau membantu saya ? Mengapa ?”


Jivaka berkata: “O, Tuanku yang terhormat. Waspadalah dengan tindakanmu. Janganlah menyakiti Ibu yang berjasa bagi anak-anaknya.”


Setelah Ajatasatru mendengar jawaban dari adiknya, hatinya segera iba ingin bertobat dan minta maaf lalu menanggalkan pedang tajam itu, dan menghapus niat-niat jahat dan tidak membunuh Ibunya. Kemudian ia memerintahkan para petugas untuk mengurung Ibunya di suatu kamar yang sangat dalam dan tidak mengijinkan Ibunya keluar lagi, agar Ayahnya cepat meninggal dunia karena kelaparan.